Dangau reyot di pinggir sawah mengernyit ketika angin sore berhembus kencang menerpanya. Atap jerami terburai tak kuasa menahan hembusannya yang semakin kencang. Tiang penyangga yang tak tegak rela menahan beban atapnya walau tiang itu tertanam ditanah dan terendam air yang keruh.
Dangau renta itulah yang setiap hari melindungi Bapak saat Beliau harus menunggu tanaman padi dari serangan burung-burung manyar. Terkadang malam hari Bapak juga menyambangi sawah untuk mengusir hama tikus yang tiada henti menggerogoti tanaman padi yang sudah mulai berisi.
Rembulan malam bersinar redup terhalang oleh gumpalan mendung mengelayut tepat diatas atap rumah. Bapak dengan keluh kesahnya bersandar pada kursi yang mulai reyot. Tatapan matanya menerawang membayangkan hamparan padi yang menari gemulai oleh tiupan angin malam. Ia melihat bulir-bulir padi yang masih belum bisa dipastikan hasilnya. Bapak lebih beruntung karena sawah tetangga musim tanam ini tak membuahkan hasil apa-apa. Serangan hama wereng dan keong mas membuat tanaman padi puso semua. Bapak sangat bersyukur kepada Tuhan karena hingga kini padi kami masih bisa memberikan harapan kehidupan ke depan.
Musim tanam tahun sebelumnya sawah Bapak tak menghasilkan apa-apa. Bapak terlambat mencegah serangan hama yang luar biasa. Bapak beserta petani yang lain hanya bisa gigit jari karena tak membuahkan hasil sama sekali. Gagal panen yang mereka alami menyebabkan program-program yang telah mereka buat gagal semuanya.
Rasa lelah dan kantuk tak kuasa Bapak tahan. Sekali menguap tubuh legam itu pun rebah lalu mendengkur di atas ranjang, Bapak benar-nenar kelelahan.
Fajar muncul memerah jingga di ufuk timur. Ia mengawal terbitnya matahari untuk melaksanakan tugasnya menyinari jagad raya. Beriring siulan burung-burung pengantar pagi, Bapak segera berangkat ke sawah untuk memunguti keong mas yang menggerogoti batang tanaman padi. Dangau tua menanti Bapak menyinggahi dirinya yang lapuk. Bapak meletakkan barang bawaan dan bekal makan siangnya di atas dangau tua.
Hanya memakai celana pendek dan kaos lengan panjang yang sejak kemarin disangkutkan di paku dangau tua, Bapak segera turun ke sawah memunguti satu persatu keong mas yang masih menempel di batang tanaman padi. Dalam sekejap, Bapak sudah mendapatkan hama tanaman itu satu karung.
Napas terengah karena mangangkat beban sekarung dari sawah hingga dangau tua. Bapak lalu meraih sebotol air minum putih. Dua, tiga teguk air mengalir melalui tenggorokannya yang kering. Sekejap energi yang sempat terkuras kini pulih kembali. Bapak pun turun lagi ke sawah mengambili keong emas yang masih banyak menempel di batang-batang tanaman padi.
“Paakk…! Bapaakkkk….!” Suaraku melantun keras dari kejauhan. Bapak menengok sebentar ke arahku. Namaku Yusni anak bungsu bapak yang baru saja tamat SMA.
“Kok, sendiri ? Emak mana” tanya Bapak sambil menyeka peluh di wajahnya.
“Aku diterima kuliah di Universitas Negeri dan hari ini pembayaran terakhir.
Bapak tidak bisa berkutik mendengarkan penjelasan dari aku yang sebenarnya sudah diduganya. Aku termasuk siswa berprestasi disekolahku.
“Seminggu lagi bagaimana?” tanya Bapak. Sambil memikirkan cara mendapatkan uang dalam waktu singkat..
“Tidak tahu, Pak!” jawabku dengan muka murung.
“Nasib….nasib!” keluh Bapak.
“Sabar, Pak. Aku tidak apa-apa kok Pak kalau terpaksa tidak kuliah,”
“Tidak, Nak. Kamu harus tetap kuliah,” tegas Bapak.
“Tapi, Pak..!”
“Tak usah kau pikirkan itu semua. Itu urusan Bapak. Tugas kamu hanya belajar.”
Pekerjaan di sawah yang belum selesai terpaksa ditunda demi masa depanku. Bapak tidak mau hanya gara-gara belum bisa bayar, aku batal kuliah. Atas kebaikan Induk Semang, akhirnya Bapak bisa membayar biaya kuliahku. Bapak bangga karena aku diterima di universitas Negeri dan mendapatkan beasiswa. Bapak merasa lega karena aku bisa melanjutkan pendidikanku dan Bapak pun bisa bekerja lagi ke sawah.
Dangau tua yang setia menanti Bapak tetap berdiri walau diterpa angin kencang musim ini. Ia kangen kepada Bapak karena dua hari tidak disambangi karena Bapak sibuk mengurusi pendidikanku. Dangau tua melambaikan atap jeraminya kepada Bapak yang tergopoh-gopoh mendekatinya. Dangau itu merasa bersyukur disinggahi orang seperti Bapak.
Bapak menyingsingkan lengan kaosnya lalu turun ke sawah. Betapa kagetnya ketika Bapak melihat keong-keong itu melumat tanaman padi. Bapak melihat dengan perasaan sedih batang-batang padi yang bertumbangan di permukaan air sawah. Tangannya melemas seakan tak berdaya ketika memunguti batang-batang padi itu untuk dikumpulkan lalu di buang ke pematang dekat dangau tua.
Hamparan sawah Bapak yang asalnya hijau kini hanya terlihat hamparan air yang beriak diterpa tiupan angin. Di balik riak-riak kecil di permukaan air sawah itu terlukis wajah sedih Bapak. Bapak tak rela jika aku yang sudah lulus SMA tak bisa melanjutkan kuliah. Bapak hanya pasrah menunggu nasib baik menghampiri sehingga perekonomian keluarga bangkit demi pendidikan dan masa depanku.
Bapak,,,
Seperti sinar mentari
Kasih yang kau suguhkan
Sungguh tak mampu aku membalasnya
Aku sayang Bapak
Sungguh kami menyayangimu,,,
Bapak yang tangguh..
BalasHapusKeren Bu..
Thanks bunda,,,
HapusDangau yg penuh kenangan. Aku kalau mudik ke Lampung ...suatu keharusan tuh anak2 pada main di Dangau. Keren cerpennya...lanjutkan.
BalasHapusMenyenangkan bermain di dangau,,,
HapusBegitu banyak cerita tentang ibu, dan sedikit yang menuliskan tentang bapak. *survey sendiri* 😁
BalasHapusMantap Bu Yus :)
Bapak juga punya cerita
HapusTerimakasih bapak perjuanganmu sungguh luar biasa. Aku bangga padamu..
BalasHapusBapak tak pernah mengeluh,,,
HapusBapak
BalasHapusTeladanmu luar biasa
Bapak sosok teladan dan pelindung,,,
HapusJadi kangen sama almarhum Bapak. Hiks.
BalasHapusSemoga Almarhum Bapak tenang di Syurga,,,Aamiin
HapusTetiba teringat Bapak yang telah meninggalkanku sejak aku kelas 1 SD..
BalasHapusSemoga Almarhum Bapak tenang di Syurga,,Aamiin
HapusBapakmu, pahlawanmu. Insyaallah, akan ada jalan lain untuk biaya kuliah nanti. Bismillah. Berpikir positif ya. Semangat!
BalasHapusmantap Bu Yusni, jadi ingat masa kecil
BalasHapus