Kalau Anda adalah emak-emak yang tambah rempong saat bulan puasa, tentu Anda tidak sendiri. Ada jutaan emak-emak yang tingkat kerempongannya naik satu level ketika bulan puasa tiba. Saya salah satunya.
Saya memiliki empat putri yang selisih usianya tidak berdekatan. Anak-anak dengan segala keunikannya sering membuat stok kesabaran harus sering diisi ulang. Begitulah
Saat ini si sulung sedang masa belajar di pondok. Si kembar anak kedua sejak berada di bangku TK sudah mulai belajar puasa. Cukup setengah hari saja. Nah, saat ini si kembar menginjak usia sembilan tahun sudah mampu berpuasa sehari penuh, tentunya dibantu dengan iming-iming hadiah sebagai penyemangat untuk mereka berpuasa penuh.
Saat sahur di hari pertama, mereka sudah percaya diri bisa menyelesaikan tantangan puasa sehari. Namun, saat matahari tak malu menampakkan diri, marilah mulai menonton dan menikmati drama dari mereka. Mulai dari buka tutup kulkas, rengekan kehausan, dan sebagainya. Rasanya stok kesabaran dan ketenangan saya lebih cepat habis daripada biasanya. Beginilah membiasakan anak-anak menjalani puasa.
Nyatanya, selama bulan puasa saya tidak hanya sekadar menyetok makanan, minuman, dan kudapan yang menggugah selera. Stok ilmu tentang puasa disiapkan juga. Banyak pertanyaan yang disampaikan si kembar tentang puasa. Lalu bagaimana aksi si bungsu Kamadiya Athalla ? Iyaa si bungsu saat ini berusia satu setengah tahun. Usia emas yang sangat membutuhkan perhatian khusus. Duh! Semakin rempong di tenaga, hati dan pikiran jadinya.
Hari ini puasa ke lima, drama berisi rengekan dan terkadang ngambek itu mulai kelihatan menyisakan akhir yang membahagiakan. Terlihat mereka sudah dapat beradaptasi. Antara perut dan emosi mulai akur dan bersahabat kembali. Begitu saya berasumsi. Emakpun mulai bersorak dalam hati.
Eits, benarkah tujuan saya membiasakan anak-anak berpuasa sudah mencapai kesuksesannya. Jawabannya saya dapatkan setelah si kembar melaporkan kejadian yang membuat saya harus instropeksi diri.
Si kembar menceritakan bahwa dia diajak temannya sembunyi-sembunyi makan jajanan saat siang hari. Laporan itu diceritakan si kembar saat kami mengunyah menu buka puasa.
Respon cepat pun disampaikan si Twindi, "Nggak, kok, aku nggak mau Mii" elaknya dengan percaya diri. itukan dosa iya kan Mii ? Saya berusaha merespon kejadian ini dengan selow dulu.
Sayangnya, selownya nggak bisa tahan lama. Emak-emak macam saya masih belum bisa sabaran untuk segera menyelesaikan masalah. Sendok yang di tangan, segera saya letakkan. Dengan nada do rendah, saya tanya si Twindi. "Beneran tadi makan jajanan?, Mimii nggak marah, kok," tanya saya.
"Allah itu maha melihat lho, Mbak," pertanyaan saya semakin mendesaknya. Setelah sekian detik, saya mendapati gelengan kepalanya. Sebuah jawaban singkat yang membuat saya terharu dan saya harus tetap membelajarkan kepadanya tentang satu nilai penting dari puasa.
Nilai teramat penting dari ibadah puasa ini salah satunya adalah tentang kejujuran. Sebuah nilai yang semakin hari semakin luntur dalam kehidupan kita. Puasa atau tidaknya seseorang, tidak ada seorangpun yang tahu. Bisa saja, dia mengaku berpuasa padahal dia selesai makan siang di warung nasi sebelumnya. Tidak ada yang mengetahuinya kecuali penjual nasi dan dia sendiri tentunya.
Menanamkan kejujuran pada anak-anak adalah sebuah pekerjaan yang tidak sederhana. Perlu ada proyek atau momen untuk menanam dan menguatkan kejujuran pada diri mereka. Dan berpuasa adalah salah satu momen yang bisa di manfaatkan untuk itu.
Nilai kejujuran dan merasa dalam pengawasan Allah ini yang perlu terus kita tekankan pada anak-anak karena orang tua tidak bisa mengawasi anaknya setiap detiknya.
Bulan Ramadan ini memang membuat emak-emak bertambah kerempongannya. Kerempongan yang tidak hanya untuk menyiapkan sahur, buka puasa, dan persiapan hari raya. Kerempongan itu adalah memastikan bahwa anak-anaknya berpuasa dengan sebuah nilai kejujuran di dalamnya.
Sebuah kerempongan yang berbuah manis nantinya.