April 20, 2021

Sempurna Menanggung Luka


Andai rindu bersayap, takkanku biarkan ia menetap sebab menanti. Aku tahu,,,menapis rasa tak pernah semudah tertawa dalam sandiwara. Memaksa hati untuk tak lagi menyebut nama. Yang tak pernah melebur dalam deruan angin senja. Sekalipun swastamita hendak membawanya.

Hai.. Apa kabar? -aahh  tunggu dulu. Kau tak perlu menjawabnya. Aku sudah lebih dulu tau jawabannya, dari raut wajahmu. Kelihatannya kau baik-baik saja, bahkan lebih baik rasanya dibanding waktu dulu kita bersama. Lebih bahagia sepertinya. Tanpa aku, kamu tetap bahagia. Berbanding terbalik dengan aku yang harus memungut – mungut retakan hati dari kepatahhatian hebat waktu itu. Aku benar benar kalap waktu itu. Bahkan lupa bagaimana langit sore pernah menggembirakan kita berdua.

Kala itu, rona jingga menggelap perlahan. Menghilang diantara ruang dan waktu. Aku bertanya padamu ‘"kau tau bagaimana cara agar kita benar benar bisa memiliki senja ? " Kau menggeleng. Lantas aku mengeluarkan ponsel, menekan gambar kamera lalu memotret matahari yang tinggal separuh, tapi warna khasnya tetap ada. Kau terdiam, lalu bertanya kembali ‘untuk apa Nung? Aku menoleh. Menatapmu. Menjawab yakin ‘agar kita bisa memiliki senja -dengan memotret lalu menyimpannya. Memilikinya selamanya. Kemudian Sebuah senyum terlahir. Sungguh manis.  Lalu kau pegang erat tanganku.

Setelah momen mesra itu. Berbulan – bulan kemudian, Dirimu berubah. Seratus delapan puluh derajat. Teleponku tidak diangkat, sms pun tidak di balas. Menghilang entah kemana. Puncaknya, ketika aku menghampiri langsung ke rumah mu. Ketika aku mengetuk pintu, aku  langsung dibukakan oleh wajah paling jutek semenjak pertama kali aku mengenalmu. Raut muka yang tak kukenali. Terlihat stres tanpa aku tahu penyebabnya. Kau menjelma penyihir tua yang membuat takut seluruh manusia. Aku bertanya ada apa dengamu, Sutan Syahri Nugraha. Kekasihku?. Kau cepat menjawab ‘Kita tidak usah berhubungan lagi Nung. Aku akan menikah 2 minggu lagi. Dengan wanita yang sudah lama dijodohkan denganku.

Kalimat pahit yang membuat aku marah sekaligus merasakan sakit yang sangat menohok di dada. Perjodohan apa? Kau bahkan tidak pernah bilang sebelumnya.

Kau hanya bilang ‘sudah Nung, pergilah’ Kemudian pintu rumahmu tertutup, juga pintu hatimu. Sangat rapat, untuk aku Nunung Komalasari. Gadis yang pernah kau bisiki kalimat romantis di telinganya. 

Hari itu, aku merasa jatuh di sebuah lubang tanpa cahaya. Jatuh dalam gelapnya. Hancur dalam reruntuhnya. Pada hari itu, resmi sudah hatiku mati. Bersemayam pada bagian paling dalam. Melepuh perih dari rasa yang paling langka, tentang kesakitan.

Kemudian, selembar undangan hadir di teras rumahku. Tepat saat matahari mulai terbenam. Tertera namamu dan nama gadis  itu, Ai Setiawati. Gadis antah berantah yang sebentar lagi akan menjadi istrimu. Iya, Istrimu.  Dirinya. Bukan aku. Janji itu, hilang begitu saja. Hilang bersama rasamu padaku. 

Musik mengalun. Sebuah nada penuh elegi tedengar sayup. Di momen bahagiamu itu. Persis pada tanggal pernikahanmu. Hari pertama kau bertindak sebagai suami wanita antah berantah itu. Juga menjadi hari terakhir aku melihatmu. Karena saat ini aku sadar, hati ini sudah bukan lagi tempat seperti apa yang pernah kau sampaikan. Dan senja adalah waktu yang paling tepat menguburnya. Sempurna menanggung luka.



2 komentar:

Pendidikan Anti Korupsi

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menumbuhkan nilai-nilai pendidikan anti korupsi disekolah, salah satunya memasukkan k...